VOA SINGKIL | Beginilah tanggapan warga yang ada di Kecamatan Gunung Meriah, mengenai penunjukan Camat Kecamatan Gunung Meriah Kabupaten Aceh Singkil dari kaum hawa oleh Pj Bupati Aceh Singkil pada Mutasi Jumat (03/05) lalu.
Tokoh tersebut, yakni Ustadz Salman, S.Pd yang juga pimpinan Pondok Pesantren Darul Fallah Az-Zamiayah Lae Ijuk. Berikut tanggapanya.
Disini kami sedikit menanggapi penempatan posisi Camat di Kecamatan Gunung Meriah dari kaum hawa.
“Secara pengetahuan kami, bila dilihat dari pandangan Islam di dalam sebuah hadist yang isinya sebagai berikut, ‘suatu kerugian bagi suatu kaum yang dipimpin oleh perempuan sebagai pemerintahnya’,” ucap Ustadz Salman.
Namun menurutnya, ada sebagian ulama menanggapi hadist ini berkaitan dengan pribadi si perempuan yang memimpin itu. Dalam artian kembali kepada latar belakang si perempuan yang akan memimpin.
Menurut pandangan ulama itu, jika sekiranya si perempuan tersebut, memiliki talenta, memiliki ilmu, cendikiawan serta pandai dalam dunia birokrasi, apalagi bisa bertanggungjawab di dalam kepemimpinanya, maka tidak ada masalah baginya memimpin.
Ustadz Salman menyebut, tidak boleh tutup mata terhadap sejarah di Aceh yang notabene dikenal dengan sebuatan Serambi Mekkah berlakunya syariat Islam.
“Aceh dulu pernah dipimpin oleh seorang perempuan yakni Sultanah Safiatuddin yang awalnya mendapat banyak penolakan dari warga dan ulama Aceh saat itu, mereka tidak mau kesultanan Aceh dipimpin oleh seorang perempuan, namun kala itu tampil ulama besar yakni Syekh Abdurrauf As-Singkily dan menjabat sebagai mufti di masa kerajaan Ratu Safiatuddin tersebut,” kata Salman.
“Artinya, dalam konteks ini jika memang sosok perempuan itu dinilai mumpuni, ya sah-sah saja, begitu juga penempatan kaum perempuan di Kecamatan Gunung Meriah oleh Pj Bupati. Mungkin Pj Bupati menilai ia layak makanya ditempatkan disitu,” sambungnya.
“Mari kita berikan kesempatan untuk beliau memimpin, jangan karena alasan selama ini Camat di Kecamatan Gunung Meriah tidak pernah dipimpin oleh perempuan menjadi alasan kita menolaknya, itu tidak bisa, karena kita berada di Negara Kesatuan Republik Indonesia,” tuturnya.
“Tidak ada larangan kita panatisme, namun ingat jangan panatisme yang buta kita harus berjiwa nasionalis, apalagi alasan penolakan itu tidak kuat. Selagi perempuan itu dapat menjaga marwahnya in sha allah saya yakin dia akan menjaga amanah sesuai dengan tanggungjawabnya,” tutup Ustadz Salman.
Sementara itu, Muhammad Rifa’i dari kacamata hukum negara menyebut, antara Laki-laki dan Perempuan Sama haknya.
“Kedudukan di hukum kita keduanya sama haknya, tidak ada larangan seorang perempuan menjadi pemimpin,” kata Rifa’i yang juga Dosen Prodi Hukum di Kampus Staisar Aceh Singkil.(***)