VOA Aceh– Pada Desember lalu DPRA bersama Pemerintah Aceh telah mengesahkan lima rancangan qanun yang masuk dalam program legislasi daerah (prolegda) prioritas 2022 resmi menjadi produk hukum untuk Tanah Rencong, salah satu Qanun tersebut yakni Tata Niaga Komoditas Aceh (TNKA).
Hal ini mendapat respon dari salah seorang pemerhati Ekspor Aceh Farid Ismullah yang dimana menurutnya terkesan terburu-buru pengesahannya.
“Kita ketahui sampai saat ini Komoditas-komoditas ungggulan yang ada di Aceh baik dari sektor Pertanian, Perikanan, Perkebunan maupun Pertambangan dan lainnya harus bisa diekspor melalui pelabuhan-pelabuhan yang ada di Aceh, di mana selama ini arus komoditas Aceh diekspor melalui Belawan, Sumatera Utara. Jika komoditas di Aceh diekspor melalui pelabuhan Aceh tentu ini akan menggerakkan perekonomian Aceh,” ucap Farid. Minggu (26/02/2023).
Lanjutnya, Sebagai praktisi pemerhati kegiatan ekspor di Aceh serta pelatih ekspor di Aceh, saya melihat Qanun tersebut terkesan terburu-buru.
Menurutnya, terkait kegiatan ekspor, tidak semata-mata kita berbicara tentang 1 komoditi, namun harus ada kajian terkait lintas kewenangan area maritim untuk melitasi serta Quota kontainer di setiap pelabuhan, ujarnya.
Iapun bertanya, lantas apakah kita telah memiliki bahan baku yang cukup untuk memenuhi kegiatan ekspor tersebut dan lalu bagaimana dengan penyedia angkutan, karena kita bicara bisnis lintas Benua, terangnya lagi.
Kita berharap untuk melakukan kajian lebih dalam dan melibatkan para ahli maritim dan lintas Kementrian, Lembaga, dan Asosiasi Logistik dan Forwarder Indonesia, serta Operator pelayaran jalur utama (Main Line Operator/MLO).
“Aceh butuh berapa kontainer dalam satu bulan, sedangkan negara kita kekurangan kontainer. Maka dari itu, tidak perlu kita terburu-buru, kecuali kita mau ekspor dengan kapal kayu (Boat) dengan isi komoditasnya adalah kelapa, pinang, dan lain sebagainya,” lanjut Farid.
Tahun 2021 saja, seharusnya Indonesia membutuhkan 1.000 Kontainer dalam seminggu, lantas berapa kontainer yang di butuhkan oleh provinsi Aceh dalam 1 bulan.
Saat ini, kegiatan ekspor juga sudah mudah, tidak harus melalui tol laut, dengan maskapai juga bisa, meski kapasitas barang tidak sebanyak mengunakan kontainer.
“Mari kita fokus untuk hal kecil yang dapat menjadi langkah bagi kita bersama dalam merumuskan kegiatan ekspor di provinsi Aceh yang di kemas dalam Qanun demi terarahnya suatu keputusan bersama yang membangkitkan perekonomian provinsi Aceh,” pintanya.
Masih banyak kajian lainnya yang harus di bahas dan di tuntaskan terutama Terkait biaya pengiriman, kecuali hal tersebut di bebankan oleh dana Otsus Aceh.
Di luar fasilitas milik non-Pelindo , terminal peti kemas kelolaan Pelindo itu (sekitar 15 terminal) kini berada di bawah manajemen SPTP. Pascamerger jumlah menjadi 27 terminal dengan tambahan TPK Belawan, TPK Perawang, TPK Semarang, TPK Nilam (Surabaya), TPK Banjarmasin. Selanjutnya TPK Tarakan, TPK Pantoloan, TPK Bitung, TPK Kendari, Makassar New Port, TPK Makassar, TPK Kupang, TPK Ambon, TPK Sorong dan TPK Jayapura.
Melihat terminal peti kemas sebanyak itu, jelas denyut bisnis sektor ini akan makin kencang. Serta bagaimana dengan provinsi Aceh, tutupnya.
Koresponden| Farid Ismullah/Pemerhati Ekspor Provinsi Aceh