Pendahuluan
Terdapat pro dan kontra pada Qanun LKS (Lembaga Keuangan Syariah) di Provinsi Aceh, akibat serangan siber yang menghambat aktivitas transaksi BSI (Bank Syariah Indonesia) sejak Senin hingga Kamis (11/5) pekan lalu. Beberapa pihak menginginkan agar Qanun No. 11 Tahun 2018 terkait Kuantan Syariah ini diubah lagi. Namun, yang lain percaya bahwa kerangka hukum yang mengendalikan perbankan syariah masih ada. Selain itu, secara khusus berkaitan dengan anak-anak Aceh yang dilindungi secara hukum. Untuk menyempurnakan produk hukum ini, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Aceh mengumumkan perubahan Qanun Nomor 11 Tahun 2018 tentang Lembaga Keuangan Syariah (LKS). Konsep pembuatan modifikasi ini, menurut Ketua DPR Aceh Saiful Bahri alias Pon Yahya, harus didekati dengan hati-hati karena usulan perubahan itu menyangkut barang manufaktur.
Menurut Saiful Bahri, LKS Qanun merupakan hasil karya Pemerintah Aceh dan DPR Aceh, melalui beberapa prosedur sebelum disahkan dan diberlakukan di Aceh. Qanun Lembaga Keuangan Syariah di Aceh Perkembangan bank syariah di Indonesia khususnya di Provinsi Aceh mengalami perubahan yang signifikan sebagai akibat dari adanya Qanun Nomor 11 Tahun 2018 tentang Lembaga Keuangan Syariah. Salah satu bentuk keistimewaan Aceh untuk menerapkan syariat Islam secara kaffah di wilayahnya sendiri adalah pengesahan Qanun Lembaga Keuangan Syariah berdasarkan UU No. 11 Tahun 2006.
Menurut Qanun Nomor 8 Tahun 2014 tentang Prinsip Syariah Islam Pasal 21 Ayat (1) dan (4), lembaga keuangan yang beroperasi di Aceh harus berdasarkan prinsip syariah. Selain itu, Aceh memiliki peraturan tambahan terkait Lembaga Keuangan Syariah. qanun. Berdasarkan qanun ini, Qanun Aceh Nomor 11 Tahun 2018 yang mengatur tentang Lembaga Keuangan Syariah mulai berlaku pada tanggal 4 Januari 2019. Artinya, sejak Qanun ini diterbitkan, seluruh lembaga keuangan di Aceh harus tunduk pada prinsip-prinsip Islam. . Begitu pula dengan perbankan konvensional.
Pada akhir tahun 2021, seluruh bank konvensional di Aceh harus mengikuti Qanun LKS No.11 Tahun 2018 yang telah disahkan.
Semua Bank Himbara di Aceh telah melakukan konversi atau mengoperasikan anak perusahaan syariah di Aceh, kecuali bank lokal seperti Bank Aceh Syariah, yang telah melakukannya sejak LKS Qanun disahkan. Menurut penelitian tambahan (Rahmawati & Putriana, 2020) mengenai “sulitnya konversi bank konvensional di Aceh menjadi bank syariah berdasarkan LKS Qanun, kesulitan tersebut antara lain mempercepat proses hukum, mengubah semua barang, aset, dan bisnis yang ada saat ini menjadi syariah, dan memindahkan dana pihak ketiga dari bank konvensional ke bank syariah jika bank konvensional lebih besar dari bank syariah”.Seluruh lembaga keuangan yang ada di Aceh adalah Qanun LKS No. November 2018, Kebijakan Kepatuhan Syariah Islam. Setelah terbit pada 4 Januari 2019, izin lembaga keuangan yang ada di Aceh baru bisa diberikan pada tahun 2021, yakni tiga tahun setelah terbitnya Qanun ini.
Pasal 6 Qanun No. 11 Tahun 2018 berlaku untuk Qanun ini: “(1) Setiap orang beragama Islam yang bertempat tinggal di Aceh atau Badan Hukum yang melakukan transaksi keuangan di Aceh; (2) Setiap orang yang beragama Islam melakukan transaksi di Aceh; (3) Setiap orang yang beragama bukan Islam, Badan Usaha dan/atau Badan Hukum yang melakukan transaksi keuangan dengan Pemerintah Aceh dan Kabupaten/Kota; (4) LKS yang menjalankan usaha di Aceh; dan (5) Lks di luar Aceh yang berkantor pusat di Aceh”. Masyarakat Aceh tidak dapat memanfaatkan bank konvensional karena semuanya telah bertransformasi menjadi bank syariah akibat pemberlakuan Qanun tentang Lembaga Keuangan Syariah. Namun hal tersebut menimbulkan sikap murung dan tidak yakin dari masyarakat mengenai kesejajaran dan perbedaan antara kedua sistem perbankan tersebut karena pada awalnya bank syariah adalah bank biasa. Akibatnya, muncul argumen yang mendukung dan menentang konversi bank-bank Aceh.
Pro Kontra Qanun LKS Kebijakan qanun ini merupakan yang pertama bagi Indonesia. Ada banyak perspektif tentang qanun ini, seperti halnya dengan kebijakan baru. Namun mengingat mayoritas masyarakat di Aceh beragama Islam, tidak diragukan lagi mendukung pemberlakuan syariat Islam dalam Qanun No 11 Tahun 2018 ini.
Pihak dari Pemerintah Aceh, Pemerintah Pusat, Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU), Masyarakat Ekonomi Syariah Aceh (MES), Partai Nanggore Aceh (PNA), sejumlah ekonom syariah, ulama, pegiat perbankan, dan sebagian masyarakat, termasuk pihak perbankan di Aceh, termasuk yang mendukung pelaksanaan LKS Qanun tersebut.
Menurut berbagai informasi yang diperoleh dari sumber berita internet, mayoritas dukungan terhadap LKS Qanun didasarkan pada hak Aceh untuk dapat menerapkan syariat Islam secara kaffah (utuh) dalam segala aspek kehidupan, terutama aspek yang berkaitan dengan muamalah.
Pihak lain selain yang bersepakat menentang konversi bank konvensional menjadi bank syariah, yang mengakibatkan penutupan seluruh bank konvensional di Provinsi Aceh. Banyak pihak yang menentang Qanun No. 11 Tahun 2018. Dua organisasi yang terlibat adalah YARA (Yayasan Advokasi Rakyat Aceh) dan IKADIN (Ikatan Advokat Indonesia). Di salah satu situs berita online, rri.co.id, Safaruddin, ketua IKADIN, menyatakan “ketidaksetujuannya dengan Qanun LKS ini dan penutupan bank konvensional berdasarkan Qanun ini. Menurutnya, LKS Qanun bertentangan dengan substansi akademik Qanun No 11 Tahun 2018 jika disepakati hanya boleh ada lembaga keuangan syariah di Aceh”.
Ketidakmampuan para bankir dalam mengimplementasikan konsep bank syariah dengan baik dan benar mungkin menjadi alasan lain mengapa bank syariah yang ada belum mampu memberikan manfaat yang signifikan, malah menimbulkan kesulitan karena proses yang rumit untuk mendapatkan pembiayaan dari bank syariah. kemudian sebagai akibat dari interaksi komersial dengan pelanggan, beberapa di antaranya adalah orang asing. Mereka menentang batasan waktu, yaitu tiga tahun setelah qanun terbit, yang datang dari kalangan dunia usaha juga.
Banyak dari mereka telah meminta perpanjangan lima tahun lagi, atau hingga 2026. Ada kesamaan pandangan dari sektor pemerintahan bahwa Aceh masih membutuhkan dua sistem perbankan. Menurut Kepala Badan Pengelola Kawasan (BPKS) Sabang, bank syariah saat ini tidak mampu memenuhi semua permintaan transaksi, sehingga alangkah baiknya jika posisinya sejajar dengan bank konvensional. Pada saat itu, terserah publik untuk memutuskan bentuk bank mana yang akan digunakan. Konsul Hukum (ALC) Aceh kemudian menegaskan bahwa gagasan Aceh tentang bank syariah tidak lebih dari penipuan. Oleh karena itu, Qanun No. 11 Tahun 2018 perlu dimutakhirkan dengan informasi terkait bank syariah. Qanun LKS diadopsi di Aceh setelah konversi bank, yaitu ketika sebagian masyarakat menolak LKS. Sebelum adanya konversi bank, masyarakat mendukung keberlangsungan LKS Qanun. Kesalahpahaman masyarakat tentang bank syariah yang mirip dengan bank konvensional dan proses yang lebih sulit, terutama ketika mengajukan pembiayaan dari bank, adalah pendorong utama sentimen publik yang berlawanan. Kemudian, karena masalah sumber daya dan jangkauan bank syariah di berbagai pelosok negeri atau luar negeri.
Perlukah Qanun LKS Direvisi?
Lumpuhnya jaringan siber hingga terganggu pelayanan BSI, jangan dilampiaskan kekecewaan tehadap qanun hingga produk hukum tersebut harus dievaluasi. Karena kesalahan itu bukan berada pada qanun LKS. Tetapi itu adalah kelemahan sistem pertahanan siber BSI.
Anggota komite IV Dewan Perwakilan Daerah (DPD) asal Aceh, Sudirman mengatakan, misalnya, pengambil kebijakan di Aceh untuk tidak menjadikan gangguan layanan di BSI beberapa hari belakangan celah mendegradasi qanun Lembaga Keuangan Syariah.
Penyataan tersebut dikeluarkan Sudirman pada Senin, 15 Mei 2018, menanggapi sejumlah kelompok yang ingin mengamandemen qanun LKS dan mengembalikan bank konvensional di Provinsi Aceh. Kekhasan Aceh direpresentasikan dalam bentuk konkrit melalui qanun nomor 11 LKS 2018. Ia menegaskan, setiap orang di Aceh secara moral wajib menjaga qanun. Proses pembuatan qanun ini begitu banyak menghabiskan anggaran dan tenaga. Harap perhatikan bahwa tidak perlu lagi menghidupkan kembali bank tradisional di Aceh. Terutama mengingat gangguan baru-baru ini terhadap sistem layanan online bank BSI.
Dikatakannya, walaupun tidak seluas cabang atau unit BSI Syariah, Bank Syariah di Aceh masih ada BAS (Bank Aceh Syariah, Bank Bukopin Syariah, Bank BCA Syariah dan Bank lokal lainnya. “Tidak ada garansi atau jaminan bahwa bank konvensional tidak akan terkena serangan siber,” tambah Sudirman yang akrab dipanggil Haji Uma. anggapan hampir sama dilontarkan oleh Teungku Muhammad Yusran Hadi, dosen Ilmu Fiq Muamalat pada Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri (UIN) Ar-Raniry, Banda Aceh. Menurutnya, usulan merevisi qanun LKS agar bank konvensional kembali beroperasi di Aceh adalah sebuah langkah mundur.
Dikatakan Teungku Muhammad Yusran Hadi, Pemerintah Aceh bersama Ummat Islam, telah berhasil memperjuangkan Syariat Islam secara formil untuk diberlakukan bertahap di Aceh sejak 2003. “Kita harus mendukung dan menjaga amanah rakyat Aceh,” jelas Muhammad Yusran yang juga anggota Dewan Pengawas Syariah Aceh tersebut.
Solusi.
Qanun LKS ini semakin memperjelas bahwa perbankan syariah akan dijadikan sebagai pelaksana dan regulatornya. Semua penduduk Aceh, baik Muslim maupun non-Muslim, serta semua bisnis dan badan hukum yang beroperasi di provinsi tersebut tunduk pada Qanun LKS. Terganggunya layanan Bank Syariah Indonesia (BSI) harus menjadi referensi bagi para legislative untuk menyempurnakan penerapan Qanun LKS. Hal yang perlu dikaji termasuk kompensasi dari setiap potensi yang merugikan nasabah yang selama ini luput dari qanun tersebut. Qanun LKS perlu direvisi untuk memperbaiki berbagai kelemahan yang terjadi. Revisi ini perlu dilakukan untuk menguatkan kemashlahatan qanun LKS sendiri bagi masyarakat.
Saran.
Selain ditujukan kepada pemerintah untuk segera merevisi qanun LKS menjadi lebih baik lagi.
Opini ini juga diharapkan dapat memberi edukasi kepada masyarakat Indonesia, khususnya masyarakat Aceh, untuk memiliki kesadaran dalam bertransaksi ekonomi menggunakan perbankan syariah sebagai upaya untuk menjalankan syariat Islam secara kaffah.
Referensi.
Alamsyah, A. R. A., & Amri, Y. (2021). Pro dan kontra konversi bank konvensional menjadi
perbankan syariah. Jurnal Investasi Islam, 6(2), 118–130.
https://doi.org/10.32505/jii.v6i2.3567
Hanif Fadillah, N., & Reza Kusuma, A. (2021). Analisis Qanun (Lembaga Keuangan syariah)
Dalam Penerapan Ekonomi Islam Melalui Perbankan Syariah di Aceh. Jurnal Ilmiah
Ekonomi Islam, 7(3), 1705–1716. https://jurnal.stie-aas.ac.id/index.php/jei/article/view/3662
Zulfahmi. (2021). Eksistensi Qanun Nomor 11 Tahun 2018 Tentang Lembaga Keuangan Syariah
Terhadap Konversi Bank Konvensional Menjadi Bank Syariah. Jurnal Hukum Ekonomi Syariah, 05(01), 50–63.
Penulis :
1. Nurul Mawadda: 210802132
2. Suci Nanda Wardani : 210802130
3. Zahara Al-Hamid : 210802144
4. Nisaul Husna: 210802127
5. Ashila Fasya: 210802147
Fakultas ilmu sosial dan pemerintahan Prodi Ilmu Administrasi Negara.